Friday 8 May 2020

Agency Theory (Teori Keagenan)

Konsep  Agency Theory yaitu menjelaskan hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas untuk kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari principal kepada agen. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai prinsipal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agen mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai dengan kepentingan principal.

Teori agensi mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Dengan demikian, kontrak kerja yang baik antara prinsipal dan agen adalah kontrak kerja yang menjelaskan apa saja yang harus dilakukan manajer dalam menjalankan pengelolaan dana yang diinvestasikan dan mekanisme bagi hasil berupa keuntungan, return dan risiko-risiko yang telah disetujui oleh kedua belah pihak.
Teori agensi mengasumsikan bahwa masing-masing individu termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga dapat menimbulkan konflik antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal  termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologinya. Menurut Eisenhardt (1989) teori  keagenan dilandasi oleh tiga buah asumsi, yaitu:

  1. Asumsi tentang sifat manusia., Menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). 
  2. Asumsi tentang keorganisasian, Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. 
  3. Asumsi tentang informasi, Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.
Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh. Dalam konsep teori agensi, manajemen sebagai agen seharusnya bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal. Namun, tidak menutup kemungkinan manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utilitasnya. Manajemen dapat melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang dapat merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen dapat bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa.
 
Menurut Jensen dan Meckling (1976), menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan dapat meminimalkan konflik diantara pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan laporan keuangan yang dilaporkan oleh agen sebagai pertanggung jawaban kinerjanya, prinsipal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen.
 
Prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Sedangkan agen mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen. Ketidakseimbangan ini disebut dengan asimetri informasi (information asymetric).

Asimetri informasi merupakan suatu kondisi dimana terdapat ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham atau stakeholders pada umumnya sebagai pengguna informasi (user). Akibat adanya informasi yang tidak seimbang ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :
  1. Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja. 
  2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat  mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.

Biaya Keagenan (Agency Cost)
Banyak masalah yang sering muncul berkaitan dengan masalah keagenan. Hubungan keagenan terjadi ketika terjadi kontrak antara dua pihak yang menunjukkan bahwa suatu pihak (prinsipal) memberikan tugas kepada orang lain (agen) untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini agen memiliki kecenderungan untuk berperilaku tertentu dengan mengutamakan kepentingannya sendiri. Untuk itu prinsipal harus memiliki mekanisme pemantauan agar dapat mengendalikan perilaku agen sesuai dengan aturan yang ditentukan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan insentif kompensasi dan melakukan monitoring, misalnya  membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan.  Biaya yang dikeluarkan untuk  auditor  tersebut disebut dengan biaya keagenan. Menurut Jensen dan Meckling (1976) terdapat tiga macam biaya keagenan (Agency Cost), diantaranya adalah:
  1. Bonding cost , Biaya ini ditanggung oleh  perusahaan yang timbul akibat tindakan manajer untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Contoh: kelancaran dalam membayar bunga utang, penyelenggaraan sistem akuntansi yang baik sehingga mampu menghasilkan laporan keuangan  yang  sesuai dengan kebutuhan prinsipal. 
  2. Monitoring cost
    Biaya yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan prinsipal untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer. Contoh: membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk melindungi asset perusahaan. 
  3. Residual loss
    Biaya yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat adanya perbedaan antara keputusan yang diambil oleh agen dengan keputusan yang  seharusnya memberikan manfaat maksimal pada prinsipal. Contoh: memanfaatkan fasilitas perusahaan secara berlebihan seperti pengeluaran untuk perjalanan dinas dan akomodasi kelas satu, mobil dinas mewah atau dengan kata lain biaya yang dikeluarkan tidak untuk kepentingan perusahaan.
Usaha meminumkan masalah keagenan atau konflik antar kelompok dalam perusahaan maka diperlukan biaya yang disebut dengan biaya keagenan (Agency Cost) dan tercermin dalam empat alternatif, yaitu:
  1. Pengeluaran untuk monitoring seperti halnya biaya untuk pemeriksaan akuntansi dan prosedur pengendalian intern. 
  2. Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang konsisten. 
  3. Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga di mana pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 
  4. Golden parachutes  dan Poison pill  dapat digunakan pula untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden Parachutes adalah suatu kontrak antara manajemen dengan pemegang saham yang menjamin bahwa manajemen akan mendapat kompensasi sejumlah tertentu apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan pengendalian perusahaan. Sedangkan Poison pill adalah usaha pemegang saham untuk menjaga agar perusahaan tidak diambil-alih oleh perusahaan lain. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak penjualan saham pada harga tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai dengan hak menjual obligasi pada harga tertentu.
Mekanisme Untuk Mengurangi Masalah Keagenan
Mekanisme untuk mengurangi masalah agensi adalah antara lain sebagai berikut:

1.Mekanisme Kontrol Dengan Monitoring
Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi biaya keagenan. Berikut mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurangi masalah keagenan:
  1. Pembentukan Dewan Komisaris, Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitor manajer. Pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen kurang efektif apabila proses pemilihan dewan komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen sehingga setelah terpilih tidak berani mengkritik manajemen. Namun jika dewan didominasi oleh anggota dari luar (independent board of director) maka monotoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi lebih efektif.
  2. Pasar Corporate Control, Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan akan diambil alih oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih bagus sehingga masalah agensi dapat dikurangi. 
  3. Pemegang Saham Besar, Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investor-investor kecil. Oleh karena itu biaya monitoring terhadap manajemen oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka akan cenderung tidak melakukan monitoring.
  4. Kepemilikan Terkonsentrasi , Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi jika untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor.
  5. Pasar Manajer, Masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan.
2.Mekanisme Kontrol Dengan Peningkatan Kepemilikan Manajer
Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang memiliki net present value yang positif dan mengurangi konsumsi untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan manajer dan pemegang saham untung maupun rugi secara  bersama-sama. 

3.Mekanisme Kontrol Dengan Bonding
Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan ‘konsumtif’. Dana tersebut adalah  free cash flows yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan net present value positif dilaksanakan. Jika biaya keagenan ingin dikurangi maka free cash flows harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan-penyimpangan.

Pengukuran Corporate Governance
Kualitas penerapan corporate governance di perusahaan perlu diuji bukan hanya terhadap adanya pedoman corporate governance yang dimiliki perusahaan tetapi juga terhadap efektivitas pelaksanaan pedoman tersebut untuk menciptakan nilai bagi pemegang saham tanpa merugikan kepentingan para pemangku kepentingan lainnya. Maka dari itu suatu analisis atas kajian mengenai praktik corporate governance diperlukan untuk membantu investor dalam memperoleh gambaran yang jelas mengenai governance di suatu perusahaan.
Pengukuran corporate governance yang akan dilakukan pada penelitian ini diukur dengan menggunakan 4 (empat) komponen antara lain adanya komite audit, kepemilikan publik, ukuran dewan komisaris dan komisaris independen. Dari ke-4 (empat) komponen tersebut sudah cukup mewakili untuk analisis kualitas penerapan corporate governance pada suatu perusahaan.

Mekanisme Corporate Governance
Mekanisme corporate governance merupakan suatu cara untuk mengatasi masalah keagenan antara manajer dan pemegang saham dan antara pemegang saham yang memiliki kontrol dan pemegang saham minoritas. Mekanisme corporate governance selanjutnya bertujuan untuk memastikan bahwa hak pemegang saham minoritas tidak dirugikan, tindakan manajemen dimonitor, dan bila kinerja manajer yang buruk diganti. Penelitian tentang corporate governance telah mengidentifikasi berbagai mekanisme yang dimaksudkan untuk memastikan bahwa manajemen bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Mekanisme corporate governance dalam penelitian ini meliputi adanya komite audit, kepemilikan publik, ukuran dewan komisaris dan komisaris independen.

Komite Audit
Berdasarkan kerangka dasar hukum di Indonesia perusahaan-perusahaan publik diwajibkan untuk membentuk komite audit. Komite audit tersebut dibentuk oleh dewan komisaris. Komite audit merupakan penghubung antara dewan direksi dan audit eksternal, internal auditor serta anggota independen. Komite audit ditugaskan untuk memberikan pengawasan pada auditor perusahaan internal dan eksternal, serta memastikan manajemen tersebut melakukan tindakan korektif yang tepat secara berkala dan dapat mengontrol kelemahan, ketidak  sesuaian dengan kebijakan, hukum dan regulasi. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka dapat diketahui bahwa komite audit merupakan suatu kelompok yang sifatnya independen atau tidak memiliki kepentingan terhadap manajemen dan diangkat secara khusus serta memiliki pandangan antara lain bidang akuntansi dan hal-hal lain yang terkait dengan sistem pengawasan internal perusahaan.
Menurut Kepmen Nomor 117 Tahun 2002, tujuan dibentuknya Komite audit adalah membantu komisaris atau dewan pengawas dalam memastikan efektivitas sistem pengendalian internal dan efektifitas pelaksanaan tugas auditor eksternal dan auditor internal. Tujuan dari komite audit adalah membantu dewan komisaris untuk (Zarkasyi, 2008):
  1. Meningkatkan kualitas laporan keuangan.
  2. Menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan.
  3. Meningkatkan efektivitas fungsi audit internal maupun eksternal audit.
  4. Mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.
Komite audit memiliki hubungan negatif signifikan dengan akrual diskresioner yang negatif, tetapi tidak berhubungan signifikan dengan akrual diskresioner yang positif. Komite audit berfungsi untuk memberikan pandangan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi dan pengendalian intern. Tujuan pembentukan komite audit adalah: 
  1. Memastikan laporan keuangan yang dikeluarkan tidak menyesatkan dan sesuai dengan praktik akuntansi yang berlaku umum.
  2. Memastikan bahwa internal kontrolnya memadai. 
  3. Menindaklanjuti terhadap dugaan adanya penyimpangan yang meterial di bidang keuangan dan implikasi hukumnya. 
  4. Merekomendasikan seleksi auditor eksternal.
Seiring dengan karakteristik tersebut, otoritas komite audit juga terkait dengan batasan mereka sebagai alat bantu dewan komisaris. Mereka tidak memiliki otoritas eksekusi apapun, hanya memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa eksplisit dari dewan komisaris. Dalam menjalankan perannya, komite audit harus memiliki hak terhadap akses tidak terbatas kepada direksi, auditor internal, auditor eksternal, dan semua informasi yang ada di perusahaan. Tanpa otoritas atau hak atas akses tersebut, akan tidak mungkin komite audit dapat menjalankan perannya dengan efektif. Sejalan dengan tujuannya, komite audit memiliki fungsi antara lain (Zarkasyi, 2008):
  1. Memberikan rekomendasi dalam pemilihan auditor independen.
  2. Berkonsultasi untuk menentukan auditor independen.
  3. Berkonsultasi dengan auditor independen dalam menganalisis laporan audit dan menyertai dalam management letter.
  4. Berkonsultasi dengan auditor independen.
Dalam kaitannya dengan penerapan GCG, membangun peran komite audit yang efektif tidak dapat terlepas dari penerapan prinsip GCG secara keseluruhan di suatu perusahaan dimana independensi, transparansi dan disclosure, akuntabilitas dan tanggungjawab, serta sikap adil menjadi prinsip dan landasan organisasi perusahaan.

Kepemilikan Publik
Kepemilikan publik adalah kepemilikan saham perusahaan oleh masyarakat umum atau atau oleh pihak luar. Kepemilikan perusahaan oleh pihak luar mempunyai kekuatan besar dalam perusahaan, karena dapat mempengaruhi perusahaan melalui media masa baik berupa kritikan maupun komentar yang semuanya dianggap sebagai suara publik atau masyarakat. Suatu struktur kepemilikan yang memiliki proporsi besar untuk kepemilikan publik dapat menekan manajemen agar menyajikan informasi secara tepat waktu karena ketepatan waktu pelaporan keuangan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi (Stiawan, 2006). Indikator yang digunakan untuk mengukur kepemilikan publik adalah persentase jumlah saham yang dimiliki oleh masyarakat publik dari seluruh modal saham perusahaan yang beredar.

Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris adalah dewan yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada dewan (dewan direksi). Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan good corporate governance. Dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas (FCGI, 2001).
Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Oleh karena itu dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Sedangkan menurut Kusumawati dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa hubungan antara jumlah anggota dewan komisaris dengan nilai perusahaan didukung oleh perspektif fungsi service dan kontrol yang diberikan dewan komisaris. Konsultasi dan nasihat yang diberikan merupakan jasa yang berkualitas bagi manajemen yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Penelitian mereka menemukan bahwa investor bersedia memberikan premium lebih terhadap perusahaan karena service dan kontrol yang dilakukan oleh komisaris. Fungsi service dan kontrol dewan komisaris dapat dilihat sebagai suatu sinyal kepada para investor bahwa perusahaan telah dikelola sebagaimana mestinya.

Komisaris Independen
Komisaris independen adalah sebuah badan dalam perusahaan yang biasanya beranggotakan dewan komisaris yang independen yang berasal dari luar perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan keseluruhan. Komisaris independen merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, dan perusahaan itu sendiri baik dalam bentuk hubungan bisnis maupun kekeluargaan.
Keberadaan komisaris independen pada suatu perusahaan dapat mempengaruhi integitas suatu laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen. Jika perusahaan memiliki komisaris independen maka laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen cenderung lebih berintegritas, karena di dalam perusahaan terdapat badan yang mengawasi dan melindungi hak pihak-pihak diluar manajemen perusahaan (Herawaty, 2008).
Keberadaan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Indonesia melalui peraturan BEI tanggal 1 Juli 2000. Dikemukakan bahwa perusahaan yang listed di Bursa harus mempunyai komisaris independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang dimiliki pemegang saham yang minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan tersebut, persyaratan jumlah minimal Komisaris Independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris.
Salah satu fungsi utama dari komisaris independen adalah untuk menjalankan fungsi monitoring yang bersifat independen terhadap kinerja manajemen perusahaan. Keberadaan komisaris dapat menyeimbangkan kekuatan pihak manajemen (terutama CEO) dalam pengelolaan perusahaan melalui fungsi monitoringnya. Selain itu komisaris independen bertujuan untuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain yang terkait (Herawaty, 2008).
Komite Nasional Kebijakan corporate governance menetapkan beberapa kriteria untuk menjadi komisaris independen pada perusahaan tercatat sebagai berikut:
  1. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan.
  2. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan Direktur dan/atau Komisaris lainnya pada perusahaan yang bersangkutan.
  3. Tidak bekerja rangkap sebagai Direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan yang bersangkutan.
  4. Tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasidalam jangka waktu 3 tahun terakhir.
  5. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang memberikan jasa pelayanan professional pada perusahaan dan perusahaan-perusahaan lainnya yang terafiliasi.
  6. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain yang dapat diinterpretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan Komisaris Independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan perusahaan.
  7. Memahami peraturan perundang-undangan PT, UU Pasar Modal dan UU serta peraturan-peraturan lain yang terkait.

No comments:

Post a Comment